Kejahatan merupakan suatu fenomena yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Merebaknya kejahatan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat semakin memprihatinkan. Tipe Kejahatan yang sering terjadi dan dapat disaksikan secara terbuka dan dilakukan di tengah masyarakat yang saat ini ramai di berbincangkan di media social adalah kejahatan yang disebut dengan Klitih. Awalnya klitih bukanlah sebuah kejahatan, melainkan sebuat kegiatan yang berarti aktivitas berkeliling keluar rumah tanpa tujuan yang jelas untuk mengisi waktu luang.
Ada juga yang menyebut klitih merupakan penyebutan terhadap Pasar Klitikan Yogyakarta yang diartikan sebagai kegiatan aktivitas yang tidak jelas dan bersifat santai sambil mencari barang bekas dan Klitikan.
Pemahaman klitih dalam masyarakat secara universal saat ini sudah berubah, klitih yang awalnya menjadi sebuah kegiatan yang menarik dan santun, sekarang menjadi sebuah kejahatan yang sangat berbahaya.
Klitih saat ini diartikan sebagai subuah kejahatan yang dilakukan oleh anak muda/pelajar yaitu anak usia SMP sederajat dan SMK sederajat yang rata-rata masih dibawa umur. Memang ironis kalau kita melihat kejadian-kejadian baru-baru ini, aksi kejahatan jalanan atau klitih di Jalan Gedongkuning, Kota Yogyakarta, Minggu dini hari (3/4/2022) menewaskan pemuda berusia 18 tahun yang merupakan anak seorang anggota DPRD di Kebumen Jawa Tengah.
Bukan pertama kali ini saja kejahatan jalanan sekelompok remaja di Yogyakarta atau Klitih menyebabkan korban jiwa. Berdasarkan catatan Jogja Police Watch, ada lima korban tewas akibat aksi gerombolan Klitih di Yogyakarta selama lima tahun belakangan.
Kalau kita lihat tentang kejadian kejahatan jalanan atau klitih yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur menjadi problematika tersendiri bagi hukum dan social masyarakat. Satu sisi aturan KUH Pidana dalam pasal Pasal 338 KUHP, yaitu: Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Tetapi disisi lain ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 29 ayat (1) yaitu penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. Kemudian dalam Pasal 1 angka (7) menyebutkan diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.